oleh. nawawi sang kilat.( Bang Awie)
Pada kesempatan ini kami mencoba mengungkap secara sekilas keberadaan Wotu dalam percaturan perpolitikan pemerintahan Kedatuaan Luwu, yang terkadang dilupakan ataukah kemungkinan sengaja untuk dilupakan. Wotu yang kita kenal sekarang ini, merupakan sebuah wilayah pemukiman setingkat Kecamatan dan secara administratif berada dalam Kabupaten Luwu timur, terletak diujung utara Teluk Bone dan sebelah barat sungai Kalaena. Wotu di diami dua etnik yang besar yaitu Wotu dan bugis. Keunikan Wotu seperti juga didaerah Luwu yang lainnya, misalnya Baebunta yang berlaku dua bahasa pengantar, bahasa Wotu dituturkan pada umumnya orang Wotu ”asli” dan diduga merupakan grup linguistik Muna, Buton dan Kaili, dan bahasa Bugis.
Wotu yang kita diami sekarang ini adalah Wotu pada periode kedua, yaitu setelah runtuhnya dinasti Kedatuan Luwu pada periode Ware Petama sekitar akhir abad ke XIII. Letak Wotu sebelumnya berada disekitar Ussu di kaki Gunung Lampenai, disekitar tempat ini disebut sebagai lokasi Mulataue atau mulaitoe. Sebagaimana juga dipahami oleh banyak orang Luwu, bahwa Batara Guru mengajarkan bagaimana cara berladang dan bercocok taman yang baik di lokasi Mulaitoe oleh orang Wotu menyebutnya sebagai Bilassa Lamoa atau Kebun Dewata. Di sekitar wilayah inilah oleh Ian Caldwell yang merupakan Dosen Sejarah Indonesia di Universitas of Hull yang menulis Land of iron, The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley, menyebutkan bahwa di tempat inilah pusat istana Luwu yang dimiliki oleh Batara Guru yang pertama. Dalam La Galigo, tempat dimana pusat istana tersebut tidak disebutkan secara akurat.
Sebagaimana diketahui dalam tradisi, Luwu dianggap sebagai daerah tertua untuk pemukiman Bugis dan merupakan kerajaan Bugis tertua dan yang paling bergengsi. Beberapa sejarawan percaya bahwa mahkamah Luwu merupakan asal mula kebudayaan dan tradisi masyarakat elit Bugis (contohnya Prof. Kern 1939;9, Prof. Zainal Abidin.1983;249) Dalam penelitian terakhir olehss proyek The Origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS Proyek) meragukan tradisi ini karena hasil penggalian kramik dari Malangke (Pusat Istana Luwu sebelum kira-kira tahun 1620) daerah ini menunjukan suatu daerah yang tidak berpenghuni atau ditempati hingga sekitar tahun 1300. Periode kejayaan atau kemakmuran ini adalah abad ke XV dab XVI ( Bulbeck dan Caldwell 2000; 92). Luwu sebagai kerajaan yang tertua terletak pada kenyataan bahwa bagian awal dari LaGaligo terdapat di Luwu. Di Luwulah tempat dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan yang pertama. Disini jugalah pohon raksasa Welenreng ditebang untuk membangun perahu-perahu Sawerigading (Pelras 1996; 59). Padahal, dua tempat di Luwu menyatakan bahwa disitulah bukit dimana Istana Batara Guru pernah berdiri. Menurut Ian Caldwell daerah yang pertama adalah Wotu. Indikasi lainnya dan lebih banyak dikenal adalah bukit Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang (cerrea). Jika ada anggapan seakan-akan membenarkan adanya pendapat bahwa letak Istana Batara Guru yang pertama berada di Cerekang menurut Ian Caldwell adalah hanyalah merupakan sebuah mitos atau tidak benar, karena pemukiman Bugis di Cerekang baru dimulai pada sekitar tahun 1450,berhubungan dengan naiknya peleburan besi dan produksi alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata mengadopsi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua. Pendapat ini diperkuat dari hasil penelitian OXIS yang menyebutkan ” Tidak ada bukti apapun yang menunjukan penduduk masyarakat Bugis di Cerekang maupun Ussu sebelum pertengahan abad ke XV. Hal ini berarti bahwa identifikasi atas lokal atas Cerekang sebagai tempat istana Batara Guru lebih tepat berlaku dari abad ke XVI ke atas. Lokasi dari pusat istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah (anakronisme).
Ekspansi orang Bugis ke Ussu dan Cerekang berlangsung pada fase belakangan sejarah Luwu pra Islam, jika tidak setelah masuknya Islam ke Luwu. Tampinna, Cerekang dan Malili, pada mulanya didiami oleh penduduk non Bugis yaitu Wotu, Pamona, Topadoe dan Tolaki. Berdirinya Istana Batara Guru pertama di Wotu lama atau disekitar Bilassa Lamoa terpat permadian yang utama para bangsawan pada saat itu yaitu di Ussu atau orang Wotu menyebutnya tempat Minussu atau menyelam. Pelabuhan utamanya terletak di Pentomua serta tempat pemujaan yang paling utama berada disebelah selatan Wotu lama yaitu Serebessue (Tempat para bissu menari). Berdasarkan penelitian dari OXIS pengaruh Hindu hanya ada dua tempat di Luwu, yaitu Wotu dan Baebunta dengan ditemukannya kremasi mayat di tempat ini. Ketika runtuhnya Ware pada priode pertama Wotu lama pindah ke bagian barat yaitu Wotu yang ada sekarang, sebahagian yang lainnya pindah ke bagian utara yaitu Cerrea (hijrah atau pindah tempat) akan tetapi sangat disayangkan setelah datangnya orang Bugis di Cerea sekitar tahun 1450 nama Cerrea berobah menjadi Cerekeng. Akan tetapi walaupun demikian orang-orang yang ingin mengaburkan sejarah dan jejak Wotu di Cerrea mengalami kesulitan untuk mengganti nama pimpinan masyarakat adatnya yang tetap disebut sebagai Pua (nenek) Cerrea, mereka mengalami kesulitan mengganti dengan nama nene Cerekeng. Air bertuah yang di kramatkan sebagai air suci bagi orang Wotu yaitu Uwe Mami (air kami) sulit diterjemahkan dan diganti jadi nama Waeta. Sebenarnya jejak keberadaan Wotu pada sejarah Luwu purba sulit terbantahkan antara lain. Nama Gunung Lampenai adalah terjemahan dari kata Parangpanjang atau tempat pandebesi membuat senjata. Tampinna atau tempat membuat sarung senjata tau parang. Pentomua atau pelabuhan tempat dimana pertemuan antara dua komunitas, Serrebessue dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahasa Wotu juga merupakan identitas orang Wotu,keunikan Wotu seperti yang dicatat oleh Bulbeck dan Prasetyo (1999) yaitu iklimnya yang memusim dari pada daerah Luwu lainnya. Perbedaan geografi budaya ini telah menarik perhatian beberapa sarjana. Kembali ke bahasa Wotu sebagai identitas orang Wotu ini, telah membentuk mata rantai pola segi tiga hubungan dengan kedua ujung semenanjung selatan dan tenggara Sulawesi yang memungkinkannya masuk dalam jaringan niaga teluk Bone. Dengan demikian, isolasi bahasa seperti pandangan sekarang justru bisa berarti sebaliknya, ini menunjukan bahwa Wotu telah menjadi akses kuna bagi para pedagang lintas semenanjung selatan, tenggara dan tengah. Kepopuleran bahasa Wotu memberi kita sebuah horizon yang agak jelas tentang tentang Wotu ddaan bukti-bukti arkeologis dan legenda Wotu yang tua, sehingga Bulbeck n Prasetyo menduga bahwa mungkin sejak tahun 1200-an orang Wotu telah aktif berniaga memperdangangkan produk-produk dari kedalaman jauh di Sulawesi Tengah dan lembah-lembah Danau Poso. Jejak tersebut bahkan terekam dalam teks I La Galigo, bahwa orang Wotu di sungai Pewusoi sekitar Gunung Lampenai, membuat kapal-kapal Kedatuan Luwu.
Konsep-konsep kepemimpinan di Luwu cukup mendapat perhatian bila di hubungkan dengan konsep kepemimpinan tradisional, Pua (Cerrea), Makole (Baebunta) dan Macoa (Wotu). Dari tradisi lisan Wotu, kita mendapat informasi bahwa Macoa Bawalipu dalam mewnjalankan pemerintahannya membawahi tiga macoa yang lain, yaitu Macoa Bentua yang menangani urusan dalam negeri, Macoa Mincara Oge yang mengurusi masalah ekonomi. Macoa Palemba Oge yang bertugas dalam hubungan dengan Macoa Bawalipu dan Datu Luwu di Palopo. Di bawah Macoa tersebut terdapat sejumlah jabatan yang menangani bidang tertentu. Ada tiga orang bergelar Oragi, yaitu Oragi Bawa Lipu, Oragi Datu, dan Oragi Ala. Dibawahnya terdapat enam orang bergelar Anre Guru antara lain antara lain Anre Guru Oli Tau, Anre Guru Tomengkeni, Anre Guru Pawawa, Anre Guru Lara, dan Anre Guru Ranra. Selanjutnya ada jabatan Angkuru atau sanro sebagai penasihat, dan ada dua lagi bergelar paramata, yaitu Paramata Tarompo (Rompo) dan Pramata Lewonu (lihat Mas’ud Rahman et.al 1999). Selanjutnya dalam silsilah orang Wotu diceritakan bahwa Macoa Bawa Lipu yang pertama di Wotu bernama Bau Jala, Bau Jala mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Bau Cina di Palopo, Bau Leko di Palu dan Bau Kuna di Buton. (lihat Salombe dkk 1987, sande dkk.1991).
Kepercayaan terhadap Sawerigading yang selalu berpusat di Ware telah dipercayai di seluruh wilayah Kedatuan Luwu, juga sebagaimana halnya juga dipercayai oleh orang Wotu sebagai salah satu komunitas yang sangat besar pengaruhnnya, tidak hanya di Luwu tetapi sampai di Sulawesi Tengah. Dari perspektif sejarah dan antropologi, menarik untuk diperhatikan bahwa Wotu, dari segi geografi budaya berbeda dengan domain Luwu lainnya. Legenda Wotu tidak terlepas dari epik I La Galigo yang selalu diacu oleh hampir setiap pusat-pusat pemukiman kuno, yang mungkin sekali menjadi populer berkat transfer kultural elit kerajaan dan pedagang bugis selama gelombang migrasi Bugis keseluruh pesisir Teluk Bone, namun harus di garis bawahi bahwa orang Wotu mempunyai latar sejarah yang jelas terlepas dari dinasti Luwu. Pendekatan sosio-linguistik jelas memberi petunjuk bahwa orang Wotu mungkin berasal dari pusat-pusat niaga di bagian lain pesisir teluk Bone, telah mengokupasi sungai Kalaena dan Wotu sebelum terbentuknya Dinasti Luwu.’
Palu 04. 11. 2023