Oleh:Muh.Ridwan.Ham
Nahdatul ulama (NU) memutuskan menjadi partai politik pada pemilu 1995. Dalam pemilu tersebut, NU mampu menempati posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi dengan memperoleh 45 kursi DPR (18,4% suara). Hal ini menjadi magnet untuk menyeret NU ke dalam pergelutan politik yang lebih pragmatis dan mengakibatkan khittah awal sebagai organisasi sosial keagamaan.
Nahdatul Ulama (NU) lahir sebagai spirit keagamaan yang berasal dari kekuatan ulama (kiai), merupakan organisasi Islam terbesar di indonesia, dan ikut bertanggung jawab untuk memberikan kontribusinya dalam mewujudkan cita-cita keadaban bangsa. Sebab, NU bukan hanya memberikan manfaat kepada jamaahnya (Jam’iyyah). Paradigma NU berlatar sejarah gejala politik, namun bisa dikatakan unik, cair tapi menggetarkan. Bagaimana NU bisa memberikan sumbangsih kepada bangsa dan NU telah berusaha ikut serta menawarkan jalan keadaban kepada umat bangsa dalam dinamika eksistensinya.
Ada tiga konsep dasar yang ditawarkan NU kepada bangsa Indonesia; Pertama, konsep mabadi’ khoiro ummat (prinsip dasar umat terbaik) yang didasarkan pada orientasi moral sebagai perubahan sosial-ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas tersebut bertumpu pada as-shidq (kejujuran) dan al-amanah (tanggung jawab). Kedua, dalam ranah keagamaan, NU telah berhasil merumuskan gagasan dasar tentang tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Ketiga, telah mempelopori penerimaan dan pengamalan Pancasila sebagai asas kenegaraan yang telah dirumuskan para pendahulu Islam.
NU dikenal dengan gerakan sosial keagamaan dan keumatan sekaligus kekuatan politik (political power) berbasis massa atau umat yang terus melekat dalam gerakan-gerakan kultural, nalar, dan aktualisasi spirit sosial kebangsaan. Masa depan NU ditentukan oleh kemampuannya menggunakan biduk di tengah gelombang politik nasional dan tuntutan sosial sebagai konsekwensi gerakan modernitas politik. Di sisi lain, NU juga dipandang sebagai representasi Islam tradisional.
Wajar kalau Dawam Raharjo pun mengamini tesis Asep Saeful Muhtadi bahwa NU memang memiliki komunikasi yg layak diperhitungkan. Seperti keharusan menjalankan komunikasi politik meski bukan partai politik. Dari rahim NU sendiri telah lahir partai-partai politik dan sejarahnya NU pernah meresmikan wajahnya sebagai partai politik dan menjadi pesaing PKI dan Masyumi.
Fakta-fakta di atas cukup memberikan gambaran bagaimana peran ideal dan paradigma politik NU sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Paradigma politik yang senafas dengan prinsip dasar ahlussunnah Wal Jama’ah, yang telah diajarkan para mu’assis Jam’iyyah dalam kancah perpolitikan secara makro. Sehingga soal khittah 1926 pun tidak henti didiskusikan oleh tokoh-tokoh internal NU, pengamat, akademisi, dan berbagai komunitas eksternal NU dari dalam dan luar negeri.
Dalam tataran historis maupun normatif ajaran, Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang sangat kuat, bila keduanya dipahami sebagai sarana untuk menata kehidupan manusia. Islam tidak hanya dijadikan sebagai “alat legitimasi”kekuasaan (legitimate of power) namun, bagaimana mengartikan makna dan menafikan kontribusi Islam terhadap dunia politik. Dengan pengertian Islam perlu dijadikan sebagai sumber inspirasi kultural dan kerangka paradigmatik yang bersifat dinamik dalam pemikiran politik.
Ajaran dan pemikiran politik Islam sebagai hasil sistematisasi kerangka agama Islam dan tradisi-tradisi kaum muslimin di bidang politik, muncul sejalan dengan kecepatan ekspansi Islam keluar ke jazirah Arab. Hal ini menyebabkan problematika baru tentang cara pengaturan kekuasaan (negara), disamping konsekwensi logis munculnya kelompok-kelompok kepentingan. Seperti yang disebutkan Abu A’la Al Maududi, bahwa agama dalam kekuasaan bisa bertambah kuat adapun kekuasaan dalam agama itu bisa lebih eksis dari paripurna. Menyangkut kaitan esensial-praktis antara agama dan politik (kekuasaan) negara yang telah lama diperkenalkan oleh sejumlah tokoh Islam, misalnya Ibnu Sina,Al-Farabi, Al-Ghazali, dan tokoh yang diseberang jalur teologis seperti Plato, Aristoleles dan lain-lain.
Merujuk penelitian Saiful Mujani 2002), dari segi paham keagamaan, dapat dilihat jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU. Dalam perkembangannya, NU muncul dalam gairah baru para intelektualisme NU berkat adanya keputusan NU untuk kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984. Keputusan yang menekankan pada warga dan elit NU agar tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis, sehingga mempunyai waktu lebih banyak lagi untuk memikirkan peradaban pendidikan.
KH Salah Mahfudh menegaskan bahwa di dalam NU dikenal tiga paradigma politik. Yaitu politik kenegaraan, kerakyatan dan kekuasaan. Bagi NU, tegas KH Sahal politik kekuasaan menempati kedudukan terendah, pernyataan ini implisit mengingatkan para politisi NU yang keluar dari khittah 1926, termasuk peristiwa belakangan ini, politisi yang bersandar di perahu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuam Pembangunan (PPP), PKNU dan lain-lain. Seiring perkembangan politik di Indonesia, perjalanan politik NU kian mantap, NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama masa-masa kemerdekaan. Persentuhan sebagai pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, Wakil NU dalam PPKI, untuk tidak mencantumkan piagam Jakarta dengan beberapa isinya dalam dasar negara RI.
NU menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Kemudian pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, yaitu tidak lagi berpolitik praktis. Namun, setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh fenomenal. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi di DPR dan mengantarkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI. Dalam pemilu 2005, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Dengan mendapatkan peluang memperoleh kursi di DPR, NU semakin jauh memasuki ranah perpolitikan dan tidak hanya menjadi ormas Islam akan tetapi menjadi organisasi politik atau parpol. Menurut Greg Fealy, tujuan politik NU saat menjadi parpol adalah 1) penyaluran dana pemerintah terhadap NU, 2) mendapat peluang bisnis, 3) menduduki jabatan birokrasi. Dengan tiga tujuan politik tersebut disadari atau tidak tampaknya justru menyebabkan NU semakin tertantang dalam mewujudkan politik kerakyatan.
Keterlibatan NU terhadap politik kekuasaan bukan hanya godaan politik. Melainkan adanya faktor-faktor pendorong lain kepada NU untuk memasuki ranah perpolitikan. Keterlibatan itu dimulai dari bergabungnya NU dengan Al Majlisul Islami ‘Ala Indonesia (MIAI) bersama Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, dan beberapa organisasi Islam lainnya. NU juga mendukung berdirinya Gabungan Partai Politik Indonesia(GAPPI) pada tahun 1939. Namun, kiprah NU terutama dengan Masyumi tidak berlangsung lama, persinggungan kepentingan dan konflik lama antara kubu tradisional dan modern kembali mengemuka di tubuh Masyumi.
Pergusuran politik kader NU di Masyumi yang dilakukan oleh sekelompok Islam modernis dan intelektual Islam melahirkan kekecewaan politik di kalangan NU. Bagaimana peran ideal NU dalam kancah perpolitikan bangsa? Tentu tidak dapat dipisahkan dari dari khittah NU 1926 sebagai proses “depolitisasi” struktural. NU dituntut seratus persen kembali pada gerakan kemasyarakatan tanpa sedikitpun bersentuhan apalagi masuk dalam politik praktis. Meskipun tak sedikit kalangan yang meragukan hal ini terjadi. Setidaknya dikarenakan beberapa faktor yaitu:
Pertama, para elite NU suka berpolitik praktis, sebab NU dibentuk tidak lepas dari politik kekuasaan. Kedua, NU merupakan satu-satunya organisasi dengan basis massa terbesar di Indonesia, karena itu, NU mempunyai daya tarik cukup kuat terhadap berbagai pihak politis. Ketiga, NU struktural harus memiliki jalur politik secara resmi karena ketidakmandirian politik warganya. Umumnya warga NU adalah masyarakat awam, tidak percaya diri mengambil keputusan politik secara otonom, dan independen, kecuali bertanya lebih dulu kepada tokoh (kiai). Tradisi ini cukup mengakar di kalangan konstituen NU. Disini tampak peran politik NU sebagai pendidik politik yang mengajarkan kedewasaan politik sesuai dengan ideologi NU yang telah ditetapkan oleh father/mu’assis NU.
Mengkaji wacana tentang bentuk ideal peranan NU dalam kancah politik, tentu bukan hal sulit. Jika dilihat dari sudut pandang politik, politik kenegaraan dan kerakyatan adalah jalan keluar yang tepat serta tidak membatasi warga nahdliyyin yang tetap ingin menyalurkan hasrat politiknya. Sebab, dalam kedua politik tersebut, masyarakat Nahdliyyin masih tetap bisa berpolitik dengan memanfaatkan suara rakyat serta jiwa nasionalisme untuk ikut serta berkontribusi membawa kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang.
Kerangka ideal NU sebagai Jam’iyyah Diniyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) harus terus diperkuat sehingga tidak terlemahkan oleh godaan politik praktis yang bisa melemahkan organisasi keagamaan. Semangatnya bisa terjadi kepada NU ataupun ormas-ormas Islam lainnya yang terus mencari eksistensi diri dalam tataran nasional kebangsaan. Dari sini awal artikulasi sosio-politik sebagai Jam’iyyah Diniyah ijtima’iyyah bertumbuh dengan paradigmatik.