Perjalanan Karier BJ Habibie, Bapak Teknologi yang Jadi Presiden Ketiga RI

JAKARTA — Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibieberpulang pada usia ke-83 tahun, Rabu (11/9/2019)

Selain sebagai Presiden ketiga RI, Eyang Habibie, begitu dia biasa disapa, juga dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia.

Habibie yang dikenal dengan otak cemerlangnya lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936.

Dikutip dari berbagai sumber, Habibie pernah bersekolah di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago, Bandung. Ia kemudian belajar teknik mesin di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Bandung, yang kini menjadi ITB pada 1954.

Seperti ditampilkan dalam film Habibie dan Ainun, Habibie kemudian melanjutkan studi teknik penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang di RWTH Aachen, Jerman Barat pada 1955-1965.

Habibie kemudian juga pernah bekerja di sebuah penerbangan di Hamburg, Jerman. Pada 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan Presiden Soeharto.

Saat itu, suami Hasri Ainun Habibie ini diminta Presiden Soeharto untuk menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Beliau resmi menjabat menjadi Menteri Riset dan Teknologi pada 1978 hingga 1998.

Sebagai Menristek, Habibie menggagas visi Indonesia yang harus bertumpu pada inovasi di bidang teknologi. Oleh karenanya, di tahun-tahun saat dirinya menjabat jadi Menristek, Habibie berambisi membuat pesawat karya bangsa Indonesia melalui PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN).

Kemudian, puncak karir Habibie terjadi pada tahun 1998. Saat itu ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden.

Salah satu pesawat yang digadang-gadang merupakan hasil karya bangsa Indonesia dan dirancang oleh BJ Habibie adalah Pesawat N-250.

Pesawat N-250 merupakan pesawat penumpang sipil (airliner) regional komuter turboprop rancangan asli IPTN (Sekarang PT Dirgantara Indonesia, PT DI, Indonesian Aerospace), Indonesia.

Menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan desain, produksi dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau Nurtanio, yang merupakan pendiri dan perintis industri penerbangan di Indonesia. Pesawat ini adalah ide dari Habibie.

Pertimbangan B.J. Habibie untuk memproduksi pesawat itu (sekalipun sekarang dia bukan direktur IPTN) adalah di antaranya karena salah satu pesawat saingannya Fokker F-50 sudah tidak diproduksi lagi sejak keluaran perdananya 1985, karena perusahaan industrinya, Fokker Aviation di Belanda dinyatakan gulung tikar pada tahun 1996.

Pesawat N-250 merupakan upaya IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang yang diluncurkan pada 1995. Sayangnya, proyek pesawat ini dihentikan produksinya setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997.

BJ Habibie juga terkenal di dunia penerbangan karena teori crack progression. Dihimpun dari Saintif, teori crack progession merupakan teori yang dipakai untuk memperkirakan titik awal retakan di sayap pesawat terbang.

Konstruksi sayap pesawat yang retak terjadi karena material struktur dalam pesawat “lelah” atau mengalami fatigue. Kelelahan dari bahan ini sulit dideteksi pada tahun 1960-an, oleh karenanya kecelakaan pesawat menjadi sering terjadi.

Kelelahan pesawat biasa terjadi pada bagian penghubung sayap dan bodi utama pesawat terbang atau penghubung sayap dan mesin. Dua bagian biasanya memang terus mengalami guncangan selama take off dan landing pesawat.

Karena guncangan itulah, timbul retakan atau crack akibat fatigue pada material penghubung. Memang, awalnya retakan sangat kecil ukurannya, namun karena tak terdeteksi, bisa saja retakan makin besar dan bahaya menanti bahkan bisa membuat sayap patah saat take off.

Saintif menyebut, solusi tentang masalah ini salah satunya datang dari BJ Habibie.

Saat usia 32 tahun, Habibie dengan kecerdikannya berhasil menemukan letak titik awal retakan atau crack propagation point. Teori ini juga disebut-sebut sangat akurat dan detail perhitungannya.

Sampai saat ini teori Habibie ini dipakai di industri penerbnagan seluruh dunia. Bahkan, teori ini juga dianggap berhasil meningkatkan standar keamanan pada pesawat, mengurangi kecelakaan, dan membuat proses perawatan pesawat lebih mudah.

Sumber: Liputan6.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *