Penulis: Profesor Dr Andi Hamzah, S.H.
MENGAMATI implementasi penegakan hukum di Indonesia, ada sejumlah cacatan yang perlu dikemukakan sehubungan dengan interpretasi terhadap aturan perundang-undangan yang dilakukan di berbagai tingkatan baik di kepolisian, kejaksaan, maupun di pengadilan; serta cara tindak aparat penegak hukum yang sudah jauh menyimpang dari aturan yang semestinya.
Tugas utama penegak hukum adalah menegakkan hukum dengan cara yang benar, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan etika profesi, tetapi juga secara taat azas dan menyadarkan masyarakat untuk menghindari tindak kejahatan. Tugas penegak hukum bukan untuk menciptakan kejahatan.
Akan tetapi yang terjadi dalam masyarakat kita sekarang adalah penegak hukum sering sekali membiarkan terjadinya tindak kejahatan. Masyarakat tidak butuh ditindak, mereka butuh disadarkan untuk menghindari kejahatan. Menindak masyarakat yang tidak mengerti hukum adalah perbuatan yang sangat tidak bermoral.
Contoh: Apabila seorang dokter melihat seseorang yang sedang memakan makanan yang kotor, maka dokter wajib menghentikan orang itu agar dia berhenti memakanan makanan yang kotor itu. Nasihati dia agar tidak mengulangi perbuatannya. Jangan malah membiarkan dia memakan makanan yang kotor itu kemudian menunggu dia datang berobat supaya dokter mendapat uang. Kalau demikian maka dokter yang tak bermoral ini menciptakan penyakit.
Contoh lain lagi: Apabila ada orang membawa tangga lewat tengah malam menuju ke suatu rumah, maka polisi wajib menahan orang itu dan tanyakan maksud dan tujuannya membawa tangga itu. Ketika terindikasi bahwa orang tersebut berniat untuk mencuri, maka di sinilah tugas polisi untuk menghentikan dia, menasihati dia agar segera pulang dan jangan lagi mengulangi perbuatannya. Dengan begitu penegak hukum sudah mencegah kejahatan.
Sebaliknya, jika dibiarkan orang itu berjalan terus ke rumah yang dituju kemudian menyandarkan tangga itu lalu memanjat ke dalam rumah tersebut, setelah itu baru polisi menangkapnya dan menuduh dia sebagai pencuri, maka di situ polisi tersebut sudah menciptakan kejahatan.
Dengan paradigma preventif seperti diuraikan di atas, maka ketika KPK menyadap mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, yang terjadi selama berbulan-bulan, dan mengetahui bahwa percakapannya dengan Memi dapat mengarah ke suatu tindak pidana, maka secara moral dan etika yang benar, KPK seharusnya sudah memperingatkan pejabat tinggi negara tersebut bahwa percakapannya itu dapat mengarah ke tindak pidana, oleh sebab itu harus segera dihentikan dan jangan lagi diteruskan. Itu etika penegak hukum yang semestinya. Bukan malah mengintai, membuntuti, kemudian mencari kesempatan untuk menangkapnya.