Penulis: Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H*)
KETIKA kita berbicara tentang “pengadilan”, maka perlu digarisbawahi bahwa yang paling tinggi di situ bukanlah lembaganya, melainkan nilainya, yaitu nilai keadilan itu sendiri. Sebab lembaga pengadilan itu tugasnya adalah untuk menegakkan nilai keadilan tersebut. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa pekerjaan dari lembaga pengadilan itu diarahkan untuk menggali, menemukan, dan menegakkan nilai keadilan dimaksud.
Apa yang dimaksud dengan keadilan? Tentu ada banyak definisi tentang keadilan, tergantung dari sudut mana kita memangdangnya dan dalam konteks apa. Dalam konteks negara, keadilan disesuaikan dengan berbagai undang-undang dan peraturan baku yang bersifat tekstual-yuridis dan mesti ditegakkan oleh para penegak hukum. Maka hukum digunakan sebagai perangkat untuk menemukan dan menegakkan keadilan.
Dalam tulisan ini penulis membatasi diri untuk menerangkan teori keadilan menurut ajaran Islam, yaitu apa yang tertulis di dalam Kita Suci Al-Qur’an, yaitu Surat An Nisa ayat 58 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Secara sederhana dapat dimengerti bahwa pesan ayat itu adalah memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya dan dalam memberikan keadilan itu maka penegak hukum diberi amanah untuk wajib menetapkan putusan secara adil, yaitu adil yang sesuai konsep keadilan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Dalam buku Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an – Perspektif Quraish Shihab dan Sayyid Qutub, dikatakan bahwa konsep keadilan itu adalah: (1) adil dalam arti sama; (2) adil di dalam arti seimbang; (3) adil di dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya; dan (4) adil di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’.
Memang ada satu perbedaan antara konsep keadilan dari perspektif hakim maupun masyarakat. Sebab masyarakat melihat bahwa keadilan itu tidak ada ukurannya. Yang penting, pemahamannya itu adalah adil ya adil.
Sehingga kalau ada seorang koruptor, bagi masyarakat, yang penting bahwa koruptor itu dihukum. Apakah salah pasalnya atau tidak, yang penting bahwa pelakunya dihukum.
Dengan cara pandang teori keadilan sesuai ajaran Islam dimaksud, maka tulisan ini mencoba menganalisis putusan dari suatu perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi di kalangan akademisi dan praktisi hukum dirasakan perlu diberikan anotasi atau catatan, karena kasus ini sangat menarik untuk dijadikan bahan studi hukum atau bahan pembelajaran.
Kasus ini sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena peristiwa yang mengawalinya dianggap kontroversial oleh sebagian akademisi ahli hukum dan sosiologi, termasuk mereka yang berkumpul di Yogyakarta pada 10 September 20128 untuk mendiskusikannya dalam suatu acara yang disebut Diseminasi Eksaminasi terhadap putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap itu.
Kasus yang saya maksudkan adalah kasus korupsi jenis suap yang menjerat mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Ia sudah dihukum secara sah melanggar Pasal 12 huruf b dari Undang-Undang No 20/2001 Jo. Undang-Undang No.31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hukumannya adalah 4 tahun 6 bulan ditambah lagi dengan hukuman pencabutan hak untuk dipilih dalam jabata publik selama 3 tahun terhitung sekan masa pidana pokoknya berakhir.
Peristiwa yang mengawali kasus ini adalah adanya kelangkaan gula di Sumatera Barat yang kemudian dicoba diatasi oleh Senator daerah itu, Irman Gusman, dengan cara menghubungkan seorang kenalannya dengan Bulog untuk menyalurkan gula ke daerah itu. Tapi peristiwa ikutannya adalah ia kemudian dituduh menerima suap Rp100 juta sehingga diseret ke pengadilan.
Jadi di satu sisi ada niat baik untuk mengatasi persoalan kelangkaan gula yang menyengsarakan masyarakat, tapi di lain sisi, secara yuridis-formal, ia dituduh menerima suap dan karena itu dihukum. Jadi ini masalah keseimbangan keadilan antara nilai dari suatu perbuatan baik dan akibat dari suatu perbuatan yang, menurut hukum, dilarang.
Menurut pengamatan saya, dalam dakwaan terhadap Irman Gusman itu ada dua pasal, yaitu Pasal 12 dan Pasal 11 UU tersebut yang digunakan Jaksa Penuntut Umum. Jadi dakwaannya bersifat alternatif. Jaksa mengangkat dua pasal tersebut lalu hakim memutus secara alternatif berdasarkan dakwaan itu.
Bagaimana kalau melihat hal ini dari sudut pandang konsep keadilan yang diinginkan di dalam Islam? Di dalam Islam, tingkat keadilan itu amanah. Artinya hak itu sesuai dengan apa yang dia tuturkan, sesuai dengan apa yang dia dakwakan.
Kalau mengikuti pendapat pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Eddy Hieriej, sebenarnya dari sudut pandang Hukum Pidana, maka Pasal 12b itu tidak tepat dan yang terbukti adalah Pasal 11, maka menurut ayat ini, hakim mesti memilih pasal dakwaan yang sesuai dengan konsep keadilan menurut ayat Al’Quran itu.
Kalau kita lihat dari segi teorinya Quraish Shihab itu, bahwa al-adil itu tentang perilaku. Kadang-kadang hakim di dalam mengadili seseorang itu memang perilakunya juga tidak adil. Jadi dibutuhkan perilaku yang adil menurut ajaran agama Islam.
Perilaku adil itu artinya, pertama, terhadap yang satu dia memperlakukan dengan baik, seharusnya terhadap Terdakwa juga diperlakukannya dengan baik, terhadap pengacaranya juga diperlakukannya dengan baik. Maslahnya adalah bahwa kadang-kadang di persidangan tidak demikian perilakunya.
Yang ke-dua, adalah al-mizan. Itu adalah alat, atau yang disebut dengan timbangannya. Kalau dalam kasus ini Terdakwa dituntut dengan Pasal 12b dan Pasal 11; sebenarnya mana yang adil menurut hukumnya? Apakah Pasal 12b ataukah Pasal 11? Di sinilah mizan-nya itu penting untuk dipahami.
Apa konsekuensinya? Begini: konsekuensinya adalah, manakala alatnya tidak benar, maka hasilnya juga tidak benar. Jadi, kalau hukumnya itu salah dalam menerapkannya, maka akan salah juga hasilnya. Jadi, mizan-nya atau timbangannya itu salah, maka putusannya pun pasti salah.
Dulu ketika Prof. Satjipto Rahardjo memberi kuliah, di antara yang sering dicontohkan adalah kasus lalu lintas: pasang helm dan sebagainya. Tapi yang sering saya contohkan ketika saya mengajar mahasiswa S1 itu adalah alat ini, timbangannya ini yang harus sesuai presisinya.
Jadi, kalau saya mendakwakan, atau seorang jaksa mendakwakan suatu pasal, maka hakim harus menilai apakah pasal itu tepat atau tidak tepat. Hakim tak boleh memutus apabila mizan-nya atau alat ukur atau pasal yang didakwakan itu tidak tepat.
Contohnya begini: Ketika saya datang ke toko emas, saya beli emas seberat satu gram. Kemudian, timbangan yang digunakan oleh penjual emas itu ternyata adalah timbangan beras yang tak pernah ditera ulang. Pasti hasilnya tidak persis benar. Kenapa? Karena timbangan yang digunakan itu salah.
Kalau alat yang dipakai untuk mengukur, untuk mengadili itu salah, maka hasilnya pasti salah. Demikian juga sebaliknya. Saya datang ke toko beras, saya beli beras 5 kilogram. Alat yang digunakan adalah timbangan emas. Ya pasti hasilnya kacau.
Dalam kasus kontroversial yang melibatkan mantan Senator Sumatera Barat ini, saya melihat bahwa seolah-olah hakim tidak memahami bahwa al-adil itu harus diukur berdasarkan konsep mizan-nya.
Sehingga apabila hakim salah memilih alat yang digunakan untuk mengadili seseorang, ya pastilah salah hasilnya. Kalau hasilnya sudah salah, maka pasti tidak adil. Karena tidak adil, maka pasti bertentangan dengan Surat An Nisa ayat 58 yang disebutkan di atas.
Karena An Nisa ayat 58 itu katakan, sampaikan kepada ahlinya. Kalau memang dakwaan Pasal 12b terhadap orang ini tidak terbukti, dan yang terbukti itu Pasal 11, maka seharusnya yang digunakan untuk menghukum Terdakwa adalah Pasal 11. Dari situlah dapat ditemukan keadilan sesuai konsep keadilan menurut ajaran Islam.
Jadi, kasus Irman Gusman ini, kalau saya lihat dari perspektif teori keadilan di dalam Islam, memang jelas tidak sesuai. Kenapa? Karena jelas, alat yang digunakan untuk menilai, alat yang dipakai untuk menghukum Terdakwa ini ternyata tidak sesuai dengan aturan hukum yang benar.
Karena aturannya salah, hukumnya salah, alat timbangannya salah, maka putusannya juga tidak benar. Artinya, sekali lagi, kalau dilihat dari teori keadilan menurut hukum Islam, maka putusan hukuman terhadap Irman Gusman itu tidak sesuai, karena alatnya salah sehingga hasilnya juga salah.
Dengan berkata demikian, saya sama sekali tidak bermaksud untuk “mengadili” putusan Pengadilan Tipikor yang secara yuridis-formal sudah sah dan berkekuatan hukum tetap. Seperti dikatakan di atas, tulisan ini hanya mencoba menganalisis keseimbangan keadilan sesuai cara pandang Al’Quran.
Analisis ini juga tidak dimaksudkan sebagai upaya membela koruptor. Tidak sama sekali. Justru Islam sangat menentang perbuatan curang termasuk suap dan berbagai bentuk korupsi lainnya. Tapi Islam juga mengajarkan bahwa penegak hukum diberi amanah untuk memutus secara adil.
Dengan demikian, maka yang perlu ditegakkan adalah bukan sekadar memutus berdasarkan aturan-aturan yang bersifat tekstual-normatif semata, tetapi perlu juga menoleh ke berbagai norma lain yang hidup di dalam masyarakat, khususnya norma agama, sebab amar putusan setiap pengadilan diawali dengan kalimat, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Dalam kalimat tersebut tersirat pesan yang sangat jelas dan tegas bahwa keadilan yang ingin dicapai dan ditegakkan adalah keadilan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa itu. Apalagi, selain sila pertama Pancasila itu, ada dua sila lain lagi yang berhubungan dengna hukum dan keadilan, yaitu sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa dalam mencari, menggali, menemukan, dan menegakkan keadilan, hendaknya setiap penegak hukum tetap berpegang teguh pada tiga sila dari Pancasila tersebut, agar hukum dapat menghadirkan bukan saja keadilan prosedural yang didasari pada teks-teks yang mati itu melainkan keadilan substantif yang berlandaskan cita hukum negarfa kita, yaitu Pancasila.
*)Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta