Innalilahi wa innailaihi rajiun.
Kematian bagi setiap makhluk bernyawa dari kehidupan dunia fana ini merupakan rahasia mutlak Allah SWT.
Tak ada seorangpun yang bisa mengetahui waktunya kapan ia akan meninggal dunia fana ini menuju kehidupan abadi akhirat.
Begitu pula halnya saudaraku Drs H Burhanuddin Djafar. Tepat hari Senin tanggal 14 Agustus 2023 jelang salat Magrib almarhum menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Regional Mamuju karena penyakit hipertensi yang insya Allah dalam keadaan husnul khatimah aamiin.
Saya tak menduga sama sekali begitu almarhum lebih awal menghadap sang Khalik, karena tak pernah didengar sakit. Saya terakhir ketemu almarhum di rumahnya di Tapalang tahun 2019 sebelum terjadinya Gempa Tektonik Mamuju.
Saat itu saya bersama Muhardi, Kasim berkunjung rumah almarhum di Tapalang, seperti biasanya almarhum selalu bisa membuat suasana jadi meriah penuh canda dan tawa, sambil menikmati secangkir kopi dan kue baruas, yang disuguhkan isterinya sambil memperkenalkan kepada isterinya satu persatu dari kami bertiga, saya, Muhardi dan Kasim.
Suasana pertemuan kala itu sangat cair, terlebih ketika semua berkisah suasana semasih kuliah bersama di Majene.
Kenangan makan pisang rebus dengan sambal tomat yang pedas, makan ubi goreng di warung Bagio dengan sambal belimbing di samping kampus.
Kenangan bikin acara makan pisang rebus di kos Nurafifah bersama Sahada di kolom rumah warga — dekat kampus, kenangan makan jeprom (jepa-jepa rommo rommo — istilah keren mahasiswa kala itu).
Gemuruh tawa tak tertahankan ha..ha..ha…karena terasa lucu dan mengasikkan. cerita pertemanan di kampus terbongkar habis, mulai dari soal adanya teman jelang ujian semester yang suka mencari cari kertas stensilan soal ujian ditempat pembakaran sampah, tak peduli tangan kotor dan hitam, dan kalau dapat akan diangkatnya sangat pelan karena takut hancur karena sudah terbakar hangus. Dan adakalanya berhasil mengangkat dengan baik dan bisa membaca soal soal ujian yang tertera di kertas stensil terbakar itu, tapi ada kalanya gagal, karena kertas stensil yang terbakar hangus saat diangkat langsung rontok dan hancur, hingga pelaksanaan ospek dengan kepala botak yang dicukur rapat menggunakan silet, hingga terlihat mengkilap.
Almarhum adalah sosok pribadi yang sangat familiar dengan penampilan yang bersahaja, dan dikenal sebagai dai yang disenangi banyak orang, karena kepiawaiannya mengocok isi perut.
Saya mengenalnya dengan baik sejak sekolah di PGA 6 Tahun BPI Somba, almarhum merupakan kakak kelas di PGA tersebut sebelum akhirnya dilebur jadi Madrasah Aliyah, tahun 1980.
Tiga tahun kemudian kembali bertemu ketika sama-sama lanjut kuliah di Fakultas Syari’ ah IAIN Alauddin Ujungpandang Filyal Majene pada tahun 1983.
Almarhum sempat menjadi Ketua Senat di fakultas tersebut, dan setelah usai yudicium Sarjana Muda (BA) almarhum kemudian melanjutkan S1 ke IAIN Alauddin Makassar.
Usai menyelesaikan studinya di IAIN Alauddin Ujungpandang dengan gelar Dokterandus, iapun kembali ke kampung halamannya di Palipi, dan karena keharmonisannya yang terbangun dengan baik dengan masyarakat Sendana akhirnya iapun didaulat menjadi Kepala Desa Sendana yang kemudian mengantarkannya makin dikenal luas baik masyarakat, sehingga dipenghujung tugasnya sebagai Kepala Desa ia memilih bergabung dengan Partai Politik Persatuan (PPP) yang kemudian mengantarkannya menjadi anggota DPRD Majene.
Namun tugasnya di parlemen sebagai wakil rakyat tak tuntas satu periode, sebab ia akhirnya memilih menjadi ASN di lingkungan Kemenag Sulbar dengan pengangkatan lewat jalur K2.
Kiprahnya di Kemenag cukup menonjol, hingga tak begitu lama jadi ASN, ia kemudian diberi tugas sebagai Kepala KUA Tapalang.
Perjalan karier ASN di lingkungan Kemenag cukup bagus, setelah dari KUA Tapalang ia kemudian dimutasi ke Kemenag Mamuju dengan jabatan satu tingkat di atas kepala KUA.
by; Masruhim Parukkai