Laporan: Rahmat Pratama
Firsa—gadis yang baru beranjak remaja masih terbaring di RSU Undata Palu setelah lebih 40 hari peristiwa gempa likuifaksi yang menghancurkan pemukiman perumnas Balaroa Palu, jumat, 28 September 2018, dan peristiwa itu pula menyebabkan tulang belakang patah, karena terbentur dengan benda keras saat terguling dengan tanah bergerak.
Firsa menjadi salah satu saksi hidup betapa ganasnya gempa likuifaksi itu yang dalam sekejap membunuh ribuan nyawa, serta ratusan rumah dan bangunan lainnya hancur berantakan. Firsa gadis yang tinggal di Balaroa itu, memang bisa tersenyum bahagia karena Allah menyelamatkan dari ganasnya pergeseran tanah saat gempa terjadi, namun tak bisa ditutupi kalau dia masih sangat trauma dan sedih, karena dalam 40 hari lebih pasca gempa belum bisa berdiri apalagi untuk melangkah, kini masih terbaring di RSU Undata Palu.
Ada keinginan keluarga untuk merujuk ke RSU Wahidin Makassar, tetapi terbentur dengan biaya, meski bisa saja bebas biaya dalam pelayanan medis di RS, karena BPJS, tapi tentulah tidak sesederhana itu, mengingat perawatan medis dalam kondisi patah tulang, butuh waktu yang tak singkat, sehingga keluarga membutuhkan dana pendukung untuk biaya tinggal dan akomodasi agi keluarga yang ikut mendampingi dan menjaga selama dalam proses pelayanan medis di RSU hingga pemulihan kesehatan.
Itulah sebabnya, Ketua DPRD Pasangkayu, H Lukman Said, SPd yang merupakan tetangga keluarga Firsa di Balora sebelum gempa, mengaku prihatin atas derita yang dialami Firsa. ‘’Cukup sedih juga melihat kondisi Firsa yang masih tetap berbaring di tempat tidur di RSU Undata Palu, karena patah tulang belakang,’’ ungkap Lukman Said yang sempat mengunjungi di RSU Undata Palu.
Melihat kondisi Firsa, Lukman berharap pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulteng bisa memfasilitasi pemberangkatan Firsa rujuk ke RSU Wahidin Makassar.