Sejarah Suku Kaili

By: Anggo Putra

Palu, 50detik.com ~ Sukua atau Orang Kaili oleh sebagian ahli ilmu bangsa-bangsa disebut juga sebagai orang Toraja Barat atau Toraja Palu, Toraja Parigi-Kaili, Toraja Sigi. Mereka berdiam di wilayah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah populasinya sekitar 300.000-350.000 jiwa. Suku bangsa Kaili sebenarnya terdiri dari banyak sub-suku bangsa.

Selain itu ada pula di antara kelompok-kelompok mereka yang digolongkan orang luar sebagai masyarakat “terasing”, karena jarang sekali berhubungan dengan dunia luar. Sementara itu di kalangan berbagai sub-suku bangsa tersebut terjadi lagi penggolongan menurut wilayah pemukiman dan hubungan kekerabatan.

Bahasa Suku Kaili

Bahasa Kaili termasuk golongan “bahasa tak” atau bahasa ingkar. Bahasa Kaili terbagi pula ke dalam beberapa dialek, di samping adanya bahasa-bahasa sub-suku bangsa tertentu yang dianggap asing bagi sub-suku bangsa yang lain. Dialek-dialek itu antara lain dialek Kaili, dialek Tomini, dialek Dampelas, dialek Balaesang, dialek Pipikoro, Bolano, Patapa, dan lain-lain.

Mata Pencaharian Suku Kaili

Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Tanaman yang biasa mereka tanam adalah padi, jagung dan sayur-sayuran. Selain itu, pada masa sekarang mereka juga bertanam cengkeh, kopi dan kelapa. Dari hutan mereka mengumpulkan kayu hitam, damar, dan rotan yang cukup mahal harganya. Sebagian di antara mereka menangkap ikan di sekitar pantai dan muara sungai. Mereka juga terkenal sebagai penenun kain tradisional yang cukup terkenal, yaitu sarung Donggala.

Baca juga Suku Lainnya Di Sulawesi

Kekerabatan, Kekeluargaan Dan Kemasyarakatan Suku Kaili

Masyarakat ini menggunakan sistem hubungan kekerabatan bilateral. Hubungan perjodohan yang menjadi dambaan lama adalah endogami dan kuatnya pengaruh orang tua dalam penentuan jodoh. Walaupun bentuk keluarga batih cukup berfungsi, akan tetapi kelompok kekerabatan yang terutama adalah keluarga luas bilateral yang mereka sebut ntina. Keluarga luas ini diaktifkan terutama dalam setiap upacara daur hidup. Akan tetapi masyarakat ini juga mengenal sistem pewarisan menurut keturunan ibu dan sistem menetap setelah kawin yang uksorilokal sifatnya.

Struktur sosial masyarakat Kaili pada masa dulu terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah maradika, yaitu golongan bangsawan keturunan bekas raja-raja Kaili dari cikal bakal mereka yang dikenal sebagai to manuru, kedua adalah lapisan to guranungata, yaitu keturunan para pembesar bawahan raja-raja zaman dulu, ketiga lapisan to dea, yaitu orang kebanyakan, dan terakhir lapisan batua atau hamba sahaya. Rajanya mereka sebut magau. Dalam pemerintahannya setiap magau biasanya dibantu oleh beberapa orang tokoh, antara lain, madika malolo (raja muda), madika matua (mangkubumi yang mengurus kemakmuran), ponggawa (pemimpin adat perkauman), galara (penyelenggara hukum peradilan adat), tadulako (panglima atau hulubalang pertahanan dan keamanan), pabicara (semacam hakim), sekarang pelapisan sosial seperti ini semakin hilang.

Agama Dan Kepercayaan Suku Kaili

Pada masa sekarang sebagian besar orang Kaili menganut agama Islam. Sebelum agama Islam masuk pada abad ke-17, sistem kepercayaan lama mereka yang disebut Balia merupakan pemujaan kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Dewa tertinggi mereka sebut dengan berbagai gelar, seperti Topetaru (sang pencipta), Topebagi (sang penentu), Topejadi (sang pencipta). Setelah agama islam masuk para penganut dewa-dewa ini mengenal pula istilah Alatala bagi dewa tertingginya.

Dewa kesuburan mereka sebut Buriro. Makhluk-makhluk halus yang menghuni lembah, gunung dan benda-benda yang dianggap keramat disebut tampilangi. Kekuatan-kekuatan gaib dari para dukun dan tukang tenung mereka sebut doti. Kegiatan religi Balia diadakan di rumah pemujaan yang disebut Lobo. Sistem pemujaan religi seperti diperkirakan sebagai salah satu sebab mengapa orang Kaili terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok keagamaan yang sering tertutup dan terasing sifatnya.

Kegiatan saling menolong dalam kehidupan masyarakat Kaili terutama sekali terlihat dalam pelaksanaan upacara-upacara adat yang amat banyak memakan biaya. Saling tolong ini merupakan kewajiban setiap anggota kekerabatan dan mereka namakan sintuvu. Kegiatan gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kaili sekarang banyak mengambil dasarnya dari sintuvu itu.

Kesenian Suku Kaili

Orang Kaili termasuk salah satu masyarakat yang mengembangkan permainan tradisional sepak raga yang mereka sebut raego atau dero. Dalam pesta-pesta perkawinan dan pertemuan umum mereka suka membacakan seni berpuisi yang disebut waino, isinya merupakan pantun sindiran bersahut-sahutan antara orang muda laki-laki dan perempuan.

Sumber: Suku Dunia

Berisi Tentang Informasi Sejarah Suku di Dunia

 

 

Pos terkait