Antara Politik Islam Dan Islam Politik

Penulis:  Rae Wellmina*)

SEBUAH bangsa dibangun dengan hati penyair.Namun hancur di tangan politikus (Dr. Mohammad Iqbal). Dalam petikan sajak Iqbal, filsuf-penyair India tersebut menyelipkan pesan sini terhadap politik berkaitan nasib keberadaan sebuah bangsa. Sebaliknya Iqbal memuji peran penyair bagi keberadaan dan kelangsungan hidup sebuah bangsa.

Mungkin karena Iqbal juga seorang penyair, maka wajar jika dia memuji diri dan kelompoknya. Namun kita tidak bisa serta merta berpikir demikian, mengingat Iqbal juga seorang aktivis politik. Berdirinya Pakistan tak lepas dari dari upaya-upaya kerja keras perjuangan politik dan curahan pemikiran filosofis Iqbal.

Iqbal filsuf penyair yang paling berpengaruh di abad ke 20 secara jernih membedakan antara “Politik Islam” dengan “Islam Politik“. Politik Islam adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan dengan berporos pada keadilan. Ini artinya perjuangan Politik Islam tidak selalu harus berbentuk partai politik.

Karena upaya mewujudkan terciptanya nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan berbangsa, dapat dilakukan di segenap lini kehidupan. Dengan konsepsi seperti yang diajukan Iqbal, maka kita menjadi lebih bisa memahami saat seorang pemikir muslim, Muhammad Abduh mengatakan, saya melihat Islam di Barat namun tidak melihat muslim. Sedangkan di Timur saya melihat muslim namun tidak melihat Islam.

Artinya Islam sebagai sebuah nilai seperti keadilan, pembelaan kepada kaum tertindas, menghargai akal-keberpikiran dan mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dinyatakan oleh Al Quran, belum tentu dapat terlihat pada sebuah komunitas muslim.

Dan demikian pula sebaliknya, komunitas muslim juga tidak serta merta merupakan manifestasi ideal dari nilai-nilai Islam. Butuh upaya serius dan komitmen kuat dari kaum muslim untuk menerapkan segenap nilai-nilai dari agamanya. Atau dengan kata lain, Islam secara normatif dimana nilai-nilainya begitu ideal, belum tentu sama dan selaras dengan Islam secara historis-sosiologis yang mewujud dalam kehidupan nyata secara sosial budaya dalam sebuah komunitas bangsa muslim.

Berbeda dengan Politik Islam yang mengidealkan terciptanya nilai-nilai Islam dalam kehidupan, Iqbal menjelaskan Islam Politik secara menarik. Menurut Iqbal, Islam Politik adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk memperjuangkan kepentingannya dalam meraih kekuasaan an sich.

Iqbal dengan tegas mengkritik mereka yang menggunakan simbol agama demi kepentingan kekuasaan semata. Karena hal ini akan sangat merugikam kepentingan umat secara keseluruhan dan jangka panjang. Dan seringkali aksi-aksi Islam Politik bersifat sangat pragmatis dan cenderung terkesan sekedar memuaskan hasrat dan ambisi untuk berkuasa.

Dalam konteks kehidupan nyata kita tidak mudah membedakan antara Politik Islam dengan Islam Politik. Salah satunya dikarenakan mereka yang sesungguhnya Islam Politik takkan mau mengaku demikian. Sebaliknya mereka akan menganggap diri dan kelompoknya sebagai perwujudan par excellence dari Politik Islam.

Namun secara mudahnya, untuk membedakan Politik Islam dan Islam Politik kita dapat melihat pada orientasi akhir dari arah perjuangan gerakan mereka. Mana gerakan Islam yang ujung-ujungnya hanya ingin memuaskan libido kekuasaan dan mana gerakan yang berorientasi pada terciptanya nilai-nilai keadilan, pembelaan kaum tertindas-terpinggirkan, meski mereka tak meraih kekuasaan politik dan jabatan publik.

Senafas dengan pandangan Iqbal, seorang pemikir modern Bassam Tibi lewat karyanyaIslamism and Islam, dia membedakan antara Islam dan Islamisme. Islam adalah sebuah agama, sebuah keyakinan religius. Sedangkan Islamisme adalah tafsir politis keagamaan yang diturunkan dari konstruksi ideologi Islam. Tibi secara tegas membedakan antara Islam dan Islamisme.

Permasalahan muncul ketika pandangan kaum Islamis, yang merupakan tafsir politis atas agama Islam berusaha dibuat sedemikian rupa sehingga nampak sakral, suci dan seolah menjadi satu satunya kebenaran mutlak. Hal ini tak jarang menimbulkan percikan-percikan keretakan sosial di dalam tubuh umat Islam sendiri. Masih menurut  Tibi, para pengusung ide Islamisme tentu takkan terima disebut demikian.

Dan sebagai mekanisme pertahanan, mereka menggunakan wacana Islamophobia. Mereka akan berdalih bahwa orang-orang yang anti dengan Islam Politik adalah kaum Islamophobia, orang-orang yang memiliki ketakutan berlebihan dan tak berdasar dengan para aktivis Islam Politik.

Pemaknaan kemenangan secara berbeda akan menimbulkan tindakan yang berbeda pula. Perbedaan  antara Politik Islam dan Islam Politik, salah satunya dapat dilacak pada bagaimana cara mendefinisikan arti sebuah kemenangan. Sebuah kemenangan seringkali hanya diukur dari satu aspek empiris saja : berupa dominasi

Akibat dari definisi yang tunggal atas kemenangan ini menyebabkan umat menjadi gelap mata untuk dapat meraih dan menguasainya. Ber-Islam secara kaffah disempitkan menjadi arena balap pacu untuk meraih kekuasaan publik sebanyak-banyaknya.

Salah satu makna mendasar kemenangan ialah, begaimana kita agar senantiasa berjalan dan berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita yakini sebagai kebenaran. Ketika seseorang menjalani dan bersikap sesuai dengan tuntunan nilai-nilai yang dia yakini sebagai kebenaran, maka disitulah kemenangan yang hakiki telah ia raih.

Tak peduli dengan realitas empiris dia harus menelan kenyataan pahit kekalahan. Karena yang lebih penting baginya adalah berjalan dan berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran yang diyakininya. Sayangnya yang kebanyakan terjadi kemenangan selalu diukur secara empiris, tak peduli dalam upaya meraihnya harus melanggar nilai keyakinannya dan merampas hak orang lain.

Kemenangan sejenis ini sesungguhnya merupakan kemenangan yang semu. Apa artinya kemenangan jika kita harus kehilangan diri kita beserta segenap keyakinan kita sendiri.

Dalam perspektif mistis-filosofis, manusia bukan sekedar makhluk darah dan daging semata. Namun juga meliputi ‘aql, ruh dan jiwa. Manusia merupakan makhluk mikrokosmos tetapi di dalamnya terkandung makrokosmos, seluruh alam semesta.

Dalam diri manusia terdapat kerajaan-kerajaan batin yang sangat luas dengan milyaran tentaranya yang berupa pikiran, khayalan, imajinasi dan juga berbagai hasrat lainnya. Jika manusia menyadari betapa besar kerajaan di dalam dirinya, mungkin dia akan mampu menginsyafi betapa kekuasaan tak selalu berkonotasi pada kekuasaan jabatan publik semata. Kekuasaan manusia terhadap kerajaan dirinya jauh lebih penting untuk diperhatikan dan diperjuangkan.

Syeikh Akbar Ibn ‘Arabi dalam Tadbirat al Illahiyah, secara panjang lebar mengingatkan kita akan kerajaan yang ada di dalam diri kita. Dan kemenangan sejati bagi kita, manakala kita mampu dengan baik mengelola kerajaan yang ada di dalam kita, dimana kita menjadi raja dan penguasanya.

Maulana Rumi juga mengingatkan kita akan makna kemenangan sejati. Kata Rumi, Raja sejati bukanlah dia yang pikirannya menguasai dunia. Melainkan dia yang mampu menguasai pikiran-pikirannya sendiri. Dan Kanjeng Nabi bersabda, Sesungguhnya pertempuran terbesar adalah pertempuran melawan diri sendiri.

*) Pelayan Aksara, Bergiat di Rumi Institute Jakarta & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: rae_wellmina / FB: rae wellmina

 

 

Pos terkait