Palu, 50detik.com– Ketika Politik menjadi panglima maka bila kita melihat teori Sistem dari pemikiran Talcott Parsons yang dijungkir balikkan, bisa dipastikan politik mempengaruhi kehidupan budaya masyarakat.
Terjadinya pergeseran nilai bahkan perilaku masyarakat dipastikan keluar dari nilai nilai yang selama ini diyakini bahkan menjadi tatanan baru meski itu dipastikan banyak bertentangan dengan nilai sebelumnya.
Contohnya “serangan fajar” di setiap pemilu dan pilkada bukan lagi hal yang haram bahkan menjadi kebutuhan.
Nilai adil, jujur, terbuka dan integritas tergerus dalam pencapaian demokrasi yang berkualitas. Penegakkan Hukum paling terabaikan. Kepatuhan hukum menjadi sesuatu yang sulit didapatkan.
Penegakkan hukum jauh dari yang diharapkan meskipun seluruh instrumen hukum telah disiapkan sedemikian rupa.
Bahkan diujung seluruh proses penegakkan hukum pada Mahkamah Konstitusi, lembaga itu sejak lama menjadi masalah tersendiri.
Lolosnya salah satu kandidat Capres adalah salah satu fakta tak terbantahkan bahwa hukum dipengaruhi dan mengakomodir kebutuhan politik. Juga maraknya kasus netralitas ASN, Kepala Desa dan oknum aparat penegak hukum pada Pemilu lalu menjadi fenomena tersendiri.
Olehnya tak bisa disalahkan bahwa sistem Politik menggerus budaya dan sistem hukum yang pada akhirnya berujung pada kepentingan Ekonomi para pelaku politik.
Semua ini bermuara pada kepentingan ekonomi segelintir kelompok. Ada anekdot politik sebutkan jangan main politik bila tak punya dana yang besar.
Kekuasaan bukan untuk para akademisi apalagi para petualang politik picisan. Hanya fenomena pencalonan pelawak Komeng yang bisa membantah hal ini.
Selebihnya fenomena money politik dan “bansos” dan “serangan fajar” menghiasi panggung politik. Belum lagi peran Korporasi penguasa ekonomi di Indonesia atau yang dikenal dengan 9 Naga Ekonomi geliatnya tak lepas dalam percaturan itu.
Apa pelajaran penting yang bisa kita distribusikan hikmahnya?
by: Sofyan Farid Lembah