Penulis: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Capres-cawapres itu urusan partai politik. Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 mengatur hanya partai poitik atau gabungan partai politik yang memiliki 25 persen suara sah atau 20 persen kursi di DPR yang bisa usung capres-cawapres.
De jure, hanya PDIP (128 kursi) yang bisa usung capres-cawapres. Partai lainnya? Harus gabungan. Koalisi dua sampai tiga partai, baru bisa mengusung pasangan capres-cawapres.
Setiap partai, atau koalisi partai bisa usung kader partai, boleh juga usung bukan kader. Setiap partai tidak selalu memiliki kader potensial. Bisa maju, tapi peluang kalahnya besar. Supaya peluang menangnya lebih besar, partai mesti usung capres-cawapres yang memiliki elektabilitas tinggi.
Ada tiga tokoh yang dalam berbagai survei memiliki elektabilitas tinggi. Yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Tiga tokoh ini yang selalu berada di tiga besar dengan urutan yang bergantian.
Magnet Prabowo sepertinya sudah redup, karena tiga kali kalah dalam pilpres. Usia juga sudah tidak muda lagi. 2024, usia Prabowo 75 tahun. Sementara Ganjar, nada-nadanya tidak diusung oleh PDIP, partai yang membesarkannya. Berat bagi Ganjar jika harus menggunakan tiket di luar PDIP. Sebab, pemilih Ganjar umumnya adalah pemilih PDIP. Boleh jadi, keluar dari PDIP, elektabilitas Ganjar langsung merosot.
Sementara Anies Baswedan bukan kader partai. Dengan modal elektabilitas yang cukup tinggi, juga simpul relawan yang besar, masif dan militan, peluang Anies untuk menang cukup besar. Tidak saja menang di pilpres, tapi punya efek elektoral bagi parpol-parpol pengusung di pileg. Nasdem misalnya, sejak dukung Anies, elektabilitas partai yang dipimpin Surya Paloh ini terus mengalami kenaikan suara.
Tidak hanya Nasdem, Demokrat dan PKS nampaknya juga punya kecenderungan untuk mengusung Anies di pilpres 2024. Ketiga partai ini intens menjalin komunikasi untuk menyamakan persepsi dan menyatukan koalisi.
Setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi oleh tiga partai ini. Pertama, siapa yang akan menjadi cawapres Anies. Kedua, dari mana logistiknya. Meskipun, jika tiga partai ini sudah deklarasi, logistik akan ngantri datang. Ketiga, tantangan dari eksternal.
Ada pihak-pihak yang sangat kuat secara politik maupun finansial berupaya untuk menggagalkan pencapresan Anies. Mereka bergerilya ke partai-partai pengusung dan mendorong partai-partai itu untuk tidak mencalonkan Anies. Bagi mereka, Anies potensial menang. Anies diyakini akan mengalahkan calon yang mereka siapkan. Calon yang bakal mereka usung. Anies, jika jadi presiden, akan dianggap ancaman bagi bisnis mereka. Selama ini, mereka bisa kontrol dan kendalikan semuanya. Dipimpin Anies, negara tak bisa lagi dikontrol dan dikendalikan oleh mereka. Di sinilah masalah krusialnya.
Jadi, kalau selama ini diviralkan isu intoleran, kadrun, politik identitas, garis keras, garis miring, dan sejenisnya, itu semua adalah semata-mata “kemasan opini” untuk menjegal Anies agar tidak mendapat dukungan untuk nyapres. Tidak lebih dari itu.
Infonya, ada seorang “menteri tajir” yang menjadi bagian dari oligarki sibuk berupaya gagalkan Anies nyapres. Tak peduli dia bisa nyapres atau tidak, pokoknya, yang penting Anies jangan sampai nyapres, katanya. Dia rela siapin dana besar untuk gagalkan Anies nyapres. Gile ya?
Semua orang tahu, upaya menjegal Anies untuk nyapres itu sistemik, masif dan terstruktur. Anda bisa uraikan sendiri makna tiga kata itu. Munculnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dinilai publik sebagai bagian dari upaya mempreteli parpol-parpol yang lebih menguntungkan secara elektoral jika mengusung Anies.
Golkar misalnya, adalah parpol yang para kadernya didominasi oleh Korp Alumni Himpunan Mahasisa Islam (KAHMI). Anies juga presidium KAHMI. Keduanya punya chemistry.
PPP dan PAN, mayoritas kader dan konstituennya memilih Anies Baswedan. Lahirnya KIB dabaca sebagai bagian yang disekenariokan oleh “sang dalang” untuk mnghindarkan ketiga partai ini dari Anies. Publik membaca arah KIB ini. Sayangnya, calon yang bakal dideklarasikan oleh KIB menolak, dan deklarasi pun batal.
Dengan kekosongan calon, KIB punya tiga alternatif. Pertama, calonkan kader dari tiga partai dengan peluang kalah lebih besar. Kedua, bergabung dengan koalisi yang lain. Bisa dengan PDIP, Gerindra-PKB, atau Nasdem-PKS-Demokrat. Ketiga, bubar jalan.
Situasi masih sedemikian cair. Semua koalisi yang semi atau sudah terbentuk, bisa makin bertambah kuat, bisa pula bubar. Masih ada 14-15 bulan sampai waktu pendaftaran pilpres (19 Oktober sampai 25 Nopember 2023). Semua bisa berubah.
14-15 bulan kedepan, apakah tiga partai yang berencana mengusung Anies dengan peluang besar untuk menang dan punya efek elektoral cukup signifikan bagi parpol akan makin solid dan kuat? Apakah akan bergabung partai-partai lain, terutama dari KIB untuk menambah kekuatan koalisi? Atau ada yang masuk angin karena kuatnya operasi eksternal? Semua dinamika yang terjadi akan menemukan jawabannya di tanggal 25 Nopember tahun depan.
Jakarta, 18 Agustus 2022