Kisruh PETI : Kita Kehilangan Kepemimpinan.

Opini Ditulis Oleh: Alamsyah Palenga

Luwuk50detik.com-Rabu 24 Februari 2021 kita dikagetkan dengan berita tertimbunnya warga di sebuah penambangan emas tradisional di Desa Buranga, kec. Ampibabo Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Tidak kurang 6 orang tewas sedangkan 12 lainnya dalam keadaan luka – luka. Lubang galian yang tadinya diharapkan menjadi duit, sekarang malah berujung maut.

Beberapa alat berat terlihat membantu pencarian korban. Voa Indonesia menyebut 4 eksavator ikut terlibat evakuasi. Publik kemudian bertanya, bagaimana bisa di lokasi tambang tradisional itu terdapat eksavator? Itu tambang tradisional, tambang rakyat atau milik pengusaha? Hari kedua mulailah timbul reaksi atas peristiwa tersebut.

Warga desa marah atas aktifitas penambangan. Terjadi pembakaran atas sebuah pondok yang disinyalir sebagai ‘rumah singgah’ para penambang, meskipun ada pihak yang mengatakan bahwa itu adalah pondok milik sebuah majelis ta’lim yang dipimpin ustad pendakwah setempat.

Tepat seminggu sebelum kejadian longsor itu LBH Ansor Sulawesi Tengah menerima pengaduan warga atas aksi saling lapor yang terjadi di Posona, sebuah desa di sekitar tambang Buranga.

Seorang tokoh masyarakat dan anak perempuannya dilaporkan atas kasus yang kesannya dicari – cari karena ujungnya kasus tersebut diduga akan dibarter dengan tuntutan supaya putra sang tokoh bungkam atas sikap kritisnya kepada pemdes. Sebelumnya putra sang tokoh adalah penggerak gerakan protes atas kebijakan pemdes yang mendukung praktek pertambangan emas di desanya dan juga dugaan kasus korupsi pemdes.

Di Palu, mahasiwa dan warga ikut melakukan unjuk rasa menuntut penutupan tambang ilegal tersebut. Mereka mengkritik keras pemerintah dan aparat atas pembiaran tersebut.

Ketika ditanya, pemkab Parigi Moutong mengelak bahwa pembiaran terjadi karena mereka menunggu izin gubernur untuk melakukan penertiban. Gubernur Longki Djanggola pun bereaksi dan mengatakan bahwa penutupan tambang tidak memerlukan izin siapapun karena itu adalah PETI alias pertambangan emas tanpa izin.

Bingung kan? Betapa carut marutnya kita mengurusi “kesejahteraan rakyat”.

Itu baru Buranga. Bagaimana dengan Kayuboko, Moutong, Pante Barat, Sausu, Bada, Poboya, Dongi – Dongi?
Kita siap menyambut maslahat atau mudharat?

Menurut hemat saya, kita kehilangan kepemimpinan di negeri ini, semua bertindak sebagaimana ‘bussines as usual’, biasa – biasa saja, padahal seharusnya kebijakan dan program di sektor ini tidak bisa lagi ‘as usual’, dia harusnya progresif.

Coba tanya, apa rencana pemerintah kabupaten atau propinsi terkait pertambangan rakyat atau pertambangan tradisional ? Apakah rencana – rencana itu dilaksanakan, dan bagaimana hasilnya ?

Saya berani menebak bahwa kalau toh ada, rencana – rencana itu tidak dieksekusi. Kenapa ? Karena itu tadi, dilakukan ‘as usual’, padahal kita butuh kebijakan yang progresif.

Ingat, kita punya Dinas ESDM, kita punya bupati, kita punya gubernur, kita punya legislator, kita punya polisi, kita punya tentara, kita punya universitas, kita punya angkatan muda yang begitu gagah, lalu kenapa tidak terjadi? Kenapa yang terjadi malah sebaliknya? Bukankah reformasi dengan otonomi daerahnya memberi kita ruang peluang yang lebih besar ? Jawabannya adalah karena kita tidak memiliki leadership dan rencana yang baik serta progresif.

Rencana progresif itu menempatkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis.

Ia tidak hanya taat pada formal prosedural namun juga materil-subtantif. Berpegang teguh pada hati nurani dan menolak penghambaan pada materi.

Tanah kita kaya, laut kita berlimpah. Namun rakyat yang ingin duit malah berujung maut hanya karena kita kehilangan kepemimpinan. Para pemimpin malah saling lempar tanggung jawab. Kata polisi, saya hanya bisa pada penegakan hukum saja. Kata bupati, saya tidak bisa menindak karena menunggu izin. Kata gubernur, penindakan itu tidak memerlukan izin saya. Nah, kan ?

Padahal UUD tegas menyatakan bahwa bumi serta kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah milik negara dan digunakan sebesar – besar untuk kemakmuran rakyat. Kata ‘milik’ itu bukan hanya sebatas pernyataan hak kepemilikan saja, padanya juga melekat kewenangan serta tanggungjawab mengelola dan mensejahterakan rakyat.

Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia, dan bukan sebaliknya. Perlakuan manusia terhadap alam dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat.

Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakan. Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. Ke arah sanalah kebijakan progresif itu harus dilakukan.

Menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama, dalam momen Rapat Kerja Wilayah ke-3 GP Ansor Sulawesi Tengah, kami sedang mematangkan beberapa gagasan yang kiranya dapat disumbangsihkan bagi pembangunan negeri dan semoga progresif dan tidak ‘as usual’.

Alamsyah PalengaK

KetuaPW GP Ansor Sulawesi Tengah

Pos terkait