Tulisan Ini, pernah diterbitkan di Media Banggai Pos (2001) Blog pribadi “Catatan Jurnalis” (2016) dan Banggai News (2016).
Foto : Ilustrasi (istimewa)
Oleh : Mulyadi T Bua
Hari itu seingat saya, hari minggu tanggal pastinya saya tidak ingat lagi, Januari 2001…Darlis Muhammad seorang wartawan Koran Tempo mengajak saya yang ketika itu masih sebagai wartawan Banggai Pos untuk meliput keberadaan Burung Maleo (Macrocephalon) di kawasan Hutan Lindung Bangkiriang yang masuk dalam dua wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Batui dan Toili (Belum dimekarkan saat itu) Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.
Luwuk50detik.com-Sebelum matahari meninggi kami sudah bertolak dari Luwuk (Ibukota Kabupaten Banggai) menuju Desa Saluan Kecamatan Toili. Kami berdua mengendarai sepeda motor Yamaha Vega, motor operasional Banggai Pos. Perjalanan kami tempuh butuh waktu tiga jam untuk sampai ke sana.
Sesampai Desa Saluan kami langsung “mengacak” Dasa yang dekat dengan Hutan Lindung Bangkiriang. Tujuannya untuk mencari sosok lelaki yang disebut-sebut sebagai penangkar Burung Maleo atau “Manuk Mamua” demikian masyarakat Batui Menyebutnya.
Tak butuh waktu lama kamipun menemukan kediaman lelaki tersebut. Karena memang lelaki itu dikenal di Kampungnya . Sejurus kemudian kami menyambangi rumah yang jauh dari kemewahan. Darlis yang tak sabar lagi mendengar cerita tentang Maleo dari mulut lelaki penangkar tersebut langsung menghambur ke ambang pintu. Saya pun harus mengimbangi langkanya, dan dia memberi isyarat kepada saya untuk mengucap salam, itu tugas pertama yang diberikannya hari itu, aku pun tanpa tedeng aling-aling langsung mengucap salam, dan terdengar balasan salam dari dalam bilik kamar walaikum salam…”siapa ya….mo ketemu siapa pak”, ujar lelaki (dengan dialeg lokal) yang sudah tepat berdiri di depan kami. Sayapun langsung meperkenalkan nama dan maksud kedatangan kami.
Setelah mengetahui maksud kedatangan kami, lelaki beruban itu langsung merespon dan mengajak duduk di balebambu yang tepat berada di bawah pohon Mangga di halaman depan rumahnya. Sebelum dia memulai ceritanya dia menyulut sebatang rokok kreteknya dan menghempaskan asap pertamanya keluar dan menghisap kembali rokoknya dalam-dalam.
“Oh..yah… orang biasa memanggil saya dengan sebutan Om Samad”…membuka perbincangan.
Memang keberadaan Burung Maleo saat ini sudah sangat memperihatinkan pasalnya habitatnya semakin sedikit menyusul adanya proyek sawitnisasi yang justeru merampas rumah Maleo di HL Bangkiriang ini. Padahal BKSDA Sulteng sudah melakukan pemetaan lokasi, dengan menetapkan beberapa lokasi yang menjadi zona larangan. Namun karena kekuatan Super Power yang dimiliki pemodal akhirnya sebagian besar “rumah” Meleo di gusur.
Suara alat berat ditambah dengan gemuruh pohon tumbang satu komando mengusir burung yang dikeramatkan oleh masyarakat adat Banggai ini. Berdasarkan catatan om Samad ketika itu spesies unggas yang terbilang langka ini hanya menembus puluhan pasang saja. Namun setelah dilakukan penangkaran yang kini sudah hampir sepuluh tahun setidaknya jumlahnya ikut bertambah, ujar om Samad.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepunahan unggas unik ini, selain habitatnya semakin berkurang, kemiri sebagai pakan utamanya sudah sangat sulit di jumpai di hutan Bangkiriang, ujar lelaki itu.
Kata om Samad lagi ; “minimnya pakan Maleo karena selain masyarakat mengambil buah kemiri untuk dijual pada pengepul, ada juga pembalak liar yang menebangi pohon kemiri untuk dijadikan kayu olahan.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi kekuatirannya apakah cucunya dan generasi berikutnya akan dapat melihat wujud Maleo di alam bebas atau kelangsungan adat Tumpe (upacara adat seserahan kepada Raja Banggai sekaligus untuk melegalkan Telur Maleo dikonsumsi oleh masyarakat adat khusunya di Batui), harus terkubur eksistensinya”, tanya nya lirih.
Ada pertanyaan besar dalam benak lelaki paruh baya itu, apakah sepuluh tahun atau beberapa puluh tahun kedepan Maleo-Maleo itu akan tetap lestari..?. Sementara ada rencana besar pemerintah untuk menjadikan lahan tambang minyak di kawasan HL Bangkiriang. Apa mungkin Maleo bisa bertelur dibawah pipa-pipa minyak yang berseliweran di kawasan itu. Dan apakah unggas sakral tersebut dapat bertengger di atas menara kilang minyak yang membara? belum lagi ancaman lain yang sangat serius mengintai eksistensi Maleo.
“Ada yang buat saya kuatir, dengan dibukanya pertambangan di zona Bangkiriang tersebut, yang akan melibatkan banyak orang sebagai pekerja. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perburuan baik telur maupun Burung Maleo itu sendiri'” ujar Om Samad
Ini yang kemudian membuat hati lelaki parubaya tersebut miris dan pesimis akan kelangsungan Maleo. Om samad juga sudah membayangkan bagaimana jika Maleo-Maleo tadi harus musnah di dalam penggorengan, untuk dijadikan telor mata sapi dan Burung Maleo goreng, atau penganan lain yang kemudian menjadi hiasan meja makan.
Tapi ada yang sedikit menghibur dirinya….jika kelak cucunya bertanya soal bagaimana wujud sebenarnya Burung Maleo. Hanya dengan uang dua puluh lima ribu rupiah, (itupun kalau ongkos transportasi Toili-Luwuk belum naik) sebagai ongkos untuk melihat Maleo di habitat barunya. Maleo yang satu ini memang sedikit beda dengan Maleo lainnya meski tinggal di antara hiruk pikuknya kota, dimana kendaraan berseliweran di depannya dia tidak juga bergeming. Tak heran jika Maleo tersebut kekal abadi dan tetap lestari pada halaman rumah jabatan Bupati Banggai sebagai habitatnya yang baru. Kami berdua hanya manggut-manggut mendengar penjelasan atau lebih tepat kalau disebut ungkapan keprihatinan, seorang kakek dari beberapa orang cucu itu.
“Oh..ya, bagaimana kalau kita lihat langsung di lokasi penangkaran…dekat kok mungkin hanya satu kilo saja …..dari sini, biasanya kalau mujur kita dapat menyaksikan Maleo bertelur”, kata Om Samad menawarkan. Tawaran itu langsung kami respon tanpa memberi jeda sedikitpun ….”ya..kami mau” jawab kami hampir serentak.
Sejurus kemudian kami bertiga berjalan beriringan…kira-kira 30 menit perjalanan kami…lelaki itu memberi isyarat kepada kami berdua yang membuntutinya, dengan menempelkan jari telunjuk ditengah bibirnya,…sssst….”. Kami pun langsung mengatur langkah agar tidak menimbulkan suara ketika menginjak ranting kering. Lambat-lambat dia menyibak dedaunan yang menghalangi pandangannya. Tiba-tiba dengan suara setengah berbisik, Om Samad memanggil ”lihat…ada sepasang Maleo disana….sambil menunjuk searah jam dua belas… yang menggali pasir itu betina sementara yang bertengger di dahan kering itu jantannya…..! kenapa si jantan tidak membantu betinanya menggali pasir…tanya saya. Mereka sudah tahu tugas mereka masing-masing si jantan kebagian tugas mengawasi kondisi disekitar tempat bertelur sang betina. Demikian pula betina menggali liang pasir untuk menunaikan tugas utamanya yaitu bertelur.Setelah beberapa saat kemudian proses bertelur selesai dan betina akan kembali mengubur terlur tersebut.”. katanya pelan.
Benar apa yang dikatakan Om Samat. Setelah itu sepasang Maleo terbang meninggalkan tempat penangkaran itu…”kok kenapa mereka meninggalkan tempat itu..lalu siapa yang mengerami telur tadi…????” (orang tua tidak bertanggung jawab, kataku dalam hati…hehehe)
Setelah dua pasang sejoli itu terbang, kami bertiga langsung mendekati liang telur tadi…Namun masih ada yang mengganjal dalam hati…akhirnya saya mengajukan pertanyaan “kenapa mereka tega meninggalkan telurnya lalu siapa nanti yang mengerami nanti,” tanyaku.”Oh..itu..memang demikian perilaku unggas yang satu ini, mereka mempercayakan kepada alam untuk mengerami dan membesarkan keturunannya…hingga dewasa nanti….seperti itu siklus kehidupan Burung yang konon cerita sebagai hadiah seorang raja tersebut,” ujar Om Samad pendek.
Sayapun mengerti seberapa besar peranan alam dan manusia disekitarnya untuk menjaga kelestarian burung tersebut.
Singkatnya menjelang maghrib kamipun meminta diri kepada Om Samad yang sedari tadi rela meluangkan waktu untuk menceritakan keberadaan Maleo.. ditengah krisis habitatnya yang kian menyusut.
Dengan hati yang puas kamipun meninggalkan Desa Saluan…kembali ke Luwuk…untuk menuangkan pengalaman kami dengan Om Samad ke dalam tulisan.***