Laporan: Marwan P Angku
50detik.com–POHON kayujawa itu jadi saksi bisu ganasnya likuifaksi di Petobo. Setinggi lebih 10 meter dgn batang lebih besar dari pohon kelapa, kayujawa itu tidak ikut berjalan, karena tdk terdampak likuifaksi. Sementara hanya beberapa meter darinya, apa saja dilumat oleh gulungan dan belahan tanah lumpur.
Di atas pohon rimbun itulah sekitar 20an org bertengger menyelamatkan diri. Lengkap, ada laki-laki, perempuan, tua muda, anak-anak, juga bocah. Seorang diantaranya kawan saya, Muslimin 42 tahun. Dzikir apa saja mereka lafazkan dalam ketakutan hebat itu.
Gerak tanah berhenti, lalu terasa senyap meski rintihan di mana-mana. Hari mulai gelap. Muslimin dan kawan2 lalu bingung, bagaimana cara turun dari pohon besar ini. “Lho, tadi kita naiknya bagaimana ya?” kata yang lain. “Kok naik bisa turun susah,” Muslimin juga heran. Padahal diantara mereka ada pula anak2 bahkan bocah, yang digendong naik memanjat.
***
Di Perumnas Balaroa, dalam waktu dan kejadian yang sama, diantara ribuan orang berusaha selamat, ada Lili Sumardi 63 tahun, akrab disapa Pak Lili. Ia adalah mu’adzin masjid Daarul Muttaqin perumnas. Pensiunan PNS itu terakhir lari lewat pintu samping utara masjid, ketika semua jamaah sudah lebih dulu kocar kacir. Sampai di pinggir menara masjid, ia tak menemukan celah menyelamatkan diri. Semua sudah tertutup reruntuhan bangunan lain. Tenaganya tak cukup melawan keadaan.
Sampai di sini sudah daya upaya. Begitu Pak Lili berkesimpulan. Selanjutnya ia menyerahkan sepenuhnya pada sang pemilik hidup. Ia bersujud di pinggir kaki menara, tdk lagi berdoa. “Pokoknya sy betul2 hanya menyerahkan diri pada Allah. Sy sujud terus,” katanya. Menunggu keputusan Tuhan, apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya yakin dari Allah pertolongan sempurna.
Setelah semua yang bergerak terasa berhenti, Pak Lili bangkit dari sujudnya. Ia terkejut posisinya sudah sejajar dgn lantai dua menara, sekitar 4 meter. “Saya kira menara tatanam, tapi sepertinya tanah tempat saya sujud yang tanaik,” katanya. Belakangan baru ia tahu mesjid plus menaranya terseret sejauh 256 meter. “Saya tdk merasa kalau saya sujud itu sambil bergeser lokasi,” tuturnya.
Dia masih sempat salat magrib sesudah itu, di atas hamparan kecil paving yang ikut terangkat bersama ia sujud. Selesai salat Pak Lili mencemaskan istrinya, Megawati 57 tahun, yang sendirian di rumah saat dia tinggalkan ke mesjid. Tapi ia tak tahu lagi jalan pulang ke jalan Seroja. Semua jalan hilang, tindih menindih dengan reruntuhan segalanya. Lebih kurang 4 jam cari jalan keluar, Pak Lili justru tembus di jalan Kelor, 350an meter sebelah timur perumnas.
Hari kelima masuk alat berat, tidak butuh kerja berat mengevakuasi jenazah istri Pak Lili. Sebab, jenazah Megawati berada di atas tanah yang terangkat pula. Hanya terhimpit kayu-kayu dan atap bangunan.
***
Muslimin dan Pak Lili, adalah dua sosok yang menghadapi kengerian yang sama, dengan kondisi dan cara yang berbeda. Muslimin masih muda bertenaga, dan tak sendirian. Pohon tempat pelarian mereka tak terdampak tanah bergerak. Tapi dgn upaya yang gigih, tidak serta merta pasrah, mereka berhasil mencapai dahan-dahan pohon, dan selamat.
Sementara Pak Lili dengan kondisi fisik dan cara sebaliknya. Sendirian lari, tenaga sudah rapuh melawan keadaan yang samasekali tak punya pelarian, hingga daya upaya habis. Maka pilihan terakhir satu-satunya pasrah, menyerahkan diri sepenuhnya pada putusan Tuhan, bersujud. Dan, juga selamat.
Saya pernah membaca buku hasil penelitian tentang DNA. (mohon dikoreksi jika ada yang keliru, sebab buku itu hilang di reruntuhan rumah saya yang rontok karena gempa). Judulnya: The Miracle of the DNA. Sub judulnya: Menemukan Tuhan dalam Gen kita. Nama peneliti/penulisnya saay lupa, yang jelas seorang ahli genetika terkemuka berkebangsaan Jepang yang hijrah ke Amerika dan memperoleh hadiah Nobel atas penelitiannya.
Bahwa keadaan atau kondisi yang ekstrim dapat menumbuhkan kekuatan yang super dalam diri seseorang. Itulah yang terjadi pada diri Muslimin dkk, warga Petobo yang bisa naik tapi kemudian tak bisa turun dari pohon. Kondisi ekstrimnya, fenomena alam yang dahsyat menimbulkan kengerian luar biasa lantaran mengancam jiwa. Pilihannya, musti sekuatnya menyelamatkan diri. Begitu selamat dan kondisi ekstrim menurun, kekuatan super hilang, cara panjat pohon sudah tak ingat, turunnya apalagi.
Pak Lili, dgn kepasrahan penuh, tentu saja berprsangka baik (berpikir positif) atas keputusan Tuhan, selamat melewati masa kritis pertaruhan nyawa. Sadar atau tidak, ia telah memerankan anjuran firman Allah dlm Quran, bahwa “Aku (Allah) sebagaimana persangkaan hambaku”.
Penelitian ilmuan itu menemukan Gen di tubuh kita berperan di balik begitu banyak fenomena kita sehari-hari. Kita dapat menghidupkan gen positif sekaligus memadamkan gen negatif, tergantung apa isi pikiran kita. Senantiasa berpikir positif akan selalu menghidupkan tombol gen positif, sekaligus secara otomatis tombol gen negatif padam. Orang-orang sukses dipicu adanya mekanisme “on-off” nya genetik. Tombol genetik terpicu oleh emosi positif.
Narasi itu tentu saja tidak bisa disalahterjemahkan, bahwa korban tak selamat lantaran gen positifnya padam. Konteksnya berbeda, karena hal tersebut berada di ranah hak prerogatif Tuhan (sunatullah). Skenario Tuhan maha sempurna, teramat jauh melampaui apa yang kita pikirkan.
Tulisan ini lebih pada konteks, bagaimana bangkit dari keterpurukan akibat bencana, dengan peranan mekanisme kerja-kerja genetik yang menakjubkan, itu. Saking takjubnya si ahli genetika atas penemuannya, ia berkesimpulan: Tidak mungkin cetak biru genetik itu bekerja dengan sendirinya secara kebetulan. Sangat terasa bahwa ada kekuasaan yang menggerakkan. Ia menyebutnya “Yang Maha Agung”. Dalam konsep ketuhanan kita menyebutnya Tuhan.
Kita tahu, pasca gempa, likuifaksi dan tsunami, kita seolah terpuruk di sudut nestapa. Sebuah keadaan ekstrim lanjutan. Kekuatan super, yakin akan muncul untuk kebangkitan. Kuncinya, menurut penemuan ilmuan genetika itu, dalam kondisi apapun jangan pernah kendur dari berpikir positip, sebab gen kita aktif setiap detik.
Cara Muslimin dan Pak Lili mungkin dapat kita terapkan dalam nyalanya tombol gen positip: Berupaya keras sekuat tenaga, lalu pasrah pada Tuhan. Bukan menyerahkan semua diurus Tuhan padahal kita masih bisa. Berupaya dulu, sisanya urusan Tuhan.
Kita bangkit, Sulteng bangkit, pasti bisa..!***