Palu, 50detik.com– Week end adalah hari paling ditunggu, penggemar kopi pahit melepaskan penat dengan menyeruput sambil bercerita dengan sesama pelanggan.
Seluruh peristiwa dibahas menghiasi pagi hingga petang. Jelang maghrib warung kopi kembali sepi.
Warung Kopi di kota tercinta memang ramai setiap harinya. Tapi hari itu ada bedanya. Tak ada topik yang hangat dibahas. Semua mati angin. Pekerja di industri informasi seolah kehabisan bahasan. Tak ada issue menjadi trending topik minggu ini. Semua berlalu begitu saja.
Di dinding Warkop Fany K2, terdapat sebuah baliho dengan slogan Sulawesi Tengah Negeri Seribu Megalith. Baliho ini menyadarkan saya dalam perenungan jelang adzan Dzuhur.
Betul ada gambar patung megalith Pelindo yang terkenal itu. Mata besar, hidung pesek dalam muka bulat khas Mongolit tanpa mulut. Itulah wajah misterius dari Pelindo. Itu adalah perumpamaan suku pedalaman di lembah Bada.
Ada sebuah pertanyaan yang selalu mengusik, mengapa para nenek moyang tidak membuat lukisan mulut di wajah patung itu? Apa makna terdalam yang mereka maksudkan? Sebagai pewaris suku Kaili yang turun dari Lapa Lando dan Lapa Sigi dari lembah Bada tentu pertanyaan itu wajib dikemukakan. Itu salah satu bentuk penelusuran soal jati diri.
Warung Kopi amat sangat terkenal soal suara kerasnya dalam mengkritisi kehidupan demokrasi dan jalannya pemerintahan di kota Palu.
Tapi hari ini semua sepi hanya sebuah gemerisik suara angin yang tak berarti apa apa. Mungkin ini sikap diam dari cerminan patung Pelindo di lembah misterius Bada yang dinginnya menembus hingga kesumsum tulang.
Sikap diam terkadang diperlukan untuk menjaga harmonisasi kehidupan. Meski otak ini terkadang tak bisa dikendalikan lagi. Tata Kelola berpikir memang harus di menej dengan baik. Otak Limbiks tak boleh dibiarkan merajalela.
Menjaga suasana kota lewat ketenangan berpikir adalah sebuah langkah bijak. PALU NGATAKU KANA KU MPOTOVE….
Palu, 21 Mei 2023
SFL/ PEKERJA SOSIAL