Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Aku tertegun membaca kalimat, entah ditulis oleh siapa. Ungkapan ringkas yang membuatku menyambut alunan azan Maghrib dengan perasaan yang campur aduk. “Jangan benci FPI. Siapa tau kelak mayatmu mereka yang menemukannya.”
Sejenak aku terdiam, mengingat bencana demi bencana yang seperti tak pernah berhenti mendera negeri ini. Musibah yang menimpa siapa saja; tsunami di Aceh, gempa dahsyat di Lombok, gempa dan tsunami di Palu – Donggala yang ketika airmata belum kering, terjadi pula tsunami di Selat Sunda. Ada cerita yang hampir sama. Di saat yang lain belum bergerak, atau baru bersiap, saudara-saudara kita dari FPI sudah berada di lokasi; sigap mencari mayat yang berserak di antara bau anyir, reruntuhan bangunan dan kadang setelah beberapa hari harus berjibaku dengan mayat yang mulai membusuk saat ditemukan. Mereka, saudara-saudara kita dari FPI, juga sigap menolong yang selamat, menyalurkan bantuan kepada siapa pun tanpa memandang agama, karena begitulah yang mereka pelajari dari agama ini, yakni dienul Islam yang haq.
Aku teringat beberapa catatan menggetarkan hati tentang kiprah FPI saat musibah tsunami di Palu. Aku teringat cerita kawan di Aceh, yang ia lahir dan besar di Aceh, tentang kesaksiannya saat bencana terjadi. Ketika itu HRS (Habib Rizieq Syihab) turun langsung mengevakuasi mayat, mengurusnya dengan benar dan terhormat, menyelamatkan yang masih ada harapan hidup. Mereka terjun langsung dengan perlengkapan apa adanya.
Di beberapa titik bahkan mereka menolong saudaranya yang ditimpa bencana, saat yang lain belum belum siap turun, bahkan dengan memakai sarung dan kaos seragam FPI.
Semoga Allah Ta’ala tinggikan derajat mereka, baguskan niat dan amal mereka serta jaga mereka. Selebihnya, mari kita belajar menjaga hati kita. Jujurlah pada nurani. Jangan karena kepentingan sesaat, engkau biarkan mulutmu mencaci maki mereka. Jangan, sungguh jangan. Siapa tau mayatmu mereka yang menemukan saat terjadi bencana.
Kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan dan perlindungan dari dicabutnya nikmat secara tiba-tiba. Kita berdo’a kepada-Nya:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala murka-Mu.” *(Do’a dari hadis shahih riwayat Muslim).*
Kalaulah kita ditimpa musibah, meski tak mengingini, maka tak ada yang lebih berharga daripada musibah yang menambah iman kita, mengurangi dosa kita dan meningkatkan kecintaan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta ridha Allah Ta’ala kepada kita. Bukan dicabutnya nikmat secara tiba-tiba.